Pages

Friday, May 6, 2011

The next Cerpen.. part 2


Seperti pagi-pagi sebelumnya, kulihat banyak orang memerhatikanku. Aku sudah lumayan terbiasa dengan hal tersebut. Memang tak biasa seorang siswi 14 tahun berlari layaknya anak berumur 17 tahun, tapi itu tak membuyarkan pikiranku tentang hukuman yang kudapatkan bila aku telat. Tak berapa jauh jarak di depanku, tepat di lajur jalan sebelah kiri, seorang lelaki berjalan berlawanan arah denganku. Entah mengapa aku merasa bahwa ia laki-laki yang aneh. Lelaki itu melihatku dengan serius, agak mengerikan tapi aku tak peduli.

Aku tiba di sekolah bertepatan dengan suara bel tanda masuk. Aku menghela nafas. Dadaku masih terasa naik turun. Dengan terengah-engah aku menuju kelas. Aku sedikit lega karena telah duduk. Di sela waktu menunggu guru masuk, kucoba tempelkan pipiku ke meja. Ingin aku melanjutkan tidur. Mimpi buruk, marah, dan lari tadi lumayan menguras tenaga dan membuatku kembali mengantuk. Sayangnya aku gagal. Aku tak dapat tidur di kelas. Tepat di belakangku ada kerumunan siswi yang ribut sekali. Sebentar aku menoleh ke arah mereka. Dengan serius mereka memerhatikan halaman demi halaman koran yang yang ada di tangan mereka. Walaupun kurang tertarik, aku berusaha menghampiri mereka.

“Hei, Tami. Lihat! Ada berita tentang kamu di sini loh!” kata Fitri.

GADIS BERUMUR 14 TAHUN MENJADI PERAIH MEDALI EMAS OLIMPIADE LARI NASIONAL

Itulah judul dari artikel yang memuat berita tentangku. Jadi, ini penyebab orang-orang memperhatikanku pagi ini? Pasti mereka bangga karena rumah mereka dekat dengan rumah atlet nasional. Konyol sekali.

***
Hari ini aku pulang lebih cepat dari biasanya. Padahal biasanya aku bisa menetap di sekolah sekitar 1-2 jam setelah pulang sekolah. Tapi hari ini berbeda, saat jam istirahat semua guru dan murid mendatangiku dan mengucapkan selamat padaku. Bahkan ada beberapa orang yang meminta berfoto denganku. Kepala sekolah lebih hebat lagi, dia membuatku tak ikut hampir setiap pelajaran hanya karena dia memanggilku – dan guru olahraga – untuk berbincang-bincang dengan beberapa wartawan yang datang ke sekolah. Kepala sekolah berlagak seakan-akan dia adalah penasehat utamaku dan Pa Gilang, guru olahraga, adalah pelatihku. Banyak jawaban yang segera dijawab mereka – sebelum aku sempat menjawab – dengan kalimat-kalimat yang memuji sekolah dan diri mereka. Aku jadi tampak sebagai orang yang awalnya tak bisa apa-apa tetapi menjadi pandai berlari sejak bersekolah disini karena bimbingan yang keras. Padahal aku sudah suka berlari sejak umurku 5 tahun. Intinya, aku benci sekolah hari ini. Kali ini perasaanku lebih memilih untuk menghindari masalah – seperti tadi pagi – dari pada menghadapi atau menambahnya.

Di jalan pulang, aku melihat laki-laki aneh yang kulihat tadi pagi. Ada merasakan perasaan yang aneh. Aku merasa bahwa aku pernah mengetahuinya, pernah tau namanya. Ah, tapi itu hanya perasaan, karena pada kenyataanya aku tak pernah berkenalan dengan laki-laki itu. Laki-laki misterius itu masuk ke dalam salah satu rumah yang terbengkalai. Rumah itu sudah lama ditinggal penghuninya. Aku penasaran dengan gerak-gerik lelaki itu. Aku terus mengamati laki-laki itu. Tanpa sadar, diam-diam ternyata aku ikut membuntutinya. Kuperhatikan terus laki-laki itu. Kulihat dia mengambil beberapa barang dari rumah tak berpenghuni itu. Aku penasaran. Baru kali ini aku mendekati suatu masalah. Rasa penasaranku semakin meluap-luap. Aku terus membuntutinya.

0 comments:

Post a Comment