Pages

Thursday, May 5, 2011

Tugas Bahasa Indonesia.

Langit yang Menghilang
Seperti biasa, hari ini pun aku bangun pagi dengan cepat. Sudah 2 tahun sejak aku pindah kesini, ke desa kecil yang benar-benar jauh dari kota, dan aku sangat menikmatinya. Oh ya, namaku Anggi, umurku 19 tahun dan bekerja di desa ini sebagai pelayan salah satu  kedai disini. Aku besar dan lahir di kota besar, aku sangat berkecukupan disana dan sangat bahagia. Hingga saat umurku 15 tahun seluruh anggota keluargaku meninggal karena kecelakaan, hanya aku yang selamat karena aku sedang pergi dengan teman-temanku. Sejak hari buruk itu aku sering sendirian dan menangis, rumah besar yang kutempati sepi sekali. Aku juga menjadi trauma dengan hujan, terutama badai, karena orang tuaku meninggal di saat badai. Setelah lulus SMA, aku pun pergi ke desa dan mencari kehidupan yang tenang disana. Inilah aku sekarang, seorang pelayan yang bahagia karena bersahabat dengan semua orang di desa yang sangat ramah. Pak Tino si tukang pos yang sangat sigap, pak kepala desa yang bijaksana, bu Ina si tukang gosip yang tahu banyak sekali rahasia warga desa, anak-anak kecil yang lucu-lucu tapi sedikit nakal, dan juga tunanganku yang sangat kucintai, Langit.
Kring kring kring...” Bel tanda datangnya pelanggan pun berbunyi, sepertinya Langitlah yang datang karena suaranya yang khas terdengar sangat jelas. Aku pun segera turun dan mulai menyiapkan makanan. Terdengar suara pak kepala desa sedang berbicara dengan Langit.
“Hei, nak Langit! Apa kabar? Terima kasih telah menggantikan kakekmu selama 5 tahun ini, pasti kau sangat berusaha keras untuk merawat kebun seluas itu sendirian. Tapi tanpa kebun itu, desa ini harus membeli sayur dan buah dari desa lain yang jauh lebih mahal. Hahahaha.. Terima kasih ya nak!” Kata pak kepala desa dengan semangat dan bahagia.
Langit pun tersenyum dan tertawa kecil karena tersipu sekaligus malu. Karena dia tak suka terlalu dipuji. Tapi dia memang sangat berjasa, Langit adalah petani kecil yang menopang sebagian besar makanan di desa. Sayur dan buah yang kami sering beli sangat murah dan segar karena asli dari kebunnya Langit. Dulu kakeknya lah yang merawat kebun itu, tapi karena sudah meninggal, Langitlah yang menggatikannya. Walaupun umurnya masih 22 tahun, tapi tanpa dia desa tak akan semakmur sekarang. Aku sangat bangga padanya.
“Hei, pahlawan desa! Kau datang kesini untuk sarapan atau hanya untuk dipuji? Cepatlah makan! Banyak pekerjaan yang harus kau lakukan!” Kataku sambil tersenyum lebar. Mendengar itu Langitpun datang dan menghampiriku.
“Bagaimana kalau aku hanya ingin bertemu dengan tunanganku yang sudah menolong pemilik kedai ini karena sedang sakit parah bertahun-tahun. Bukan hanya menggantikan pekerjaannya, kau bahkan mengirimnya ke rumah sakit kota untuk perawatan yang lebih baik dan anaknya kau rawat disini. Kau juga pahlawan kan?” Katanya dengan wajah menyebalkan tapi percaya diri.
“Aaah , sudahlah.. Itu tak perlu dibahas, aku kan hanya membantu. Nah, sekarang mau pesan apa? Seperti biasa? ” Kataku dengan malu. Dia benar-benar menyebalkan.
“Hahahaha.. Aku serius.. Aku sudah sarapan kok tadi. Bukan karena aku tak mau bayar atau tak mau makan masakan mu, tapi karena hari ini aku ada kegiatan penting. Nah, sebelum itu, aku ingin melihat wajah tunanganku dulu.. Hehe..” Katanya sambil mengusap-usap kepalaku sekaligus mengacak-acak rambutku.
“Jangan bicara seperti itu, seakan-akan kau akan mati karena kegiatan itu. Kau baru saja melamarku  bulan lalu dan aku sama sekali tak mau kehilangan kau secepat itu. Kalau benar-benar berbahaya, aku akan melarangmu. Kegiatan penting apa sih?” Kataku sambil cemberut dan menyingkirkan tangannya dengan sekuat tenaga. Leluconnya benar-benar tidak lucu.
“Hahaha.. Wajahmu saat cemas dan cemberut itu benar-benar lucu. Aku suka! Tenang saja, justru aku melihatmu supaya aku ingat kalau aku harus menikah denganmu. Tak bisa aku bilang sekarang, nanti ga kejutan. Hehehe.. Dadaaah!” Katanya sambil bercanda seperti biasa. Dia pun pergi dengan cepat seperti akan ketinggalan film kesukaannya. Sungguh aneh, karena baru kali ini aku melihatnya seperti itu.
***
Siangnya, aku segera membuat banyak masakan di restoran. Aku meminta tolong pada Tika, anak dari pak Dodo si pemilik kedai, untuk menjaga kedai sementara karena akan mengantarkan makan siang pada Langit. Bila ada tamu, Tika harus segera memanaskan makanan yang sudah kusiapkan tadi.
Sesampainya di kebun ternyata Langit tidak ada. Yang kulihat hanya peri-peri kecil yang membantu Langit dalam merawat kebun seluas itu. Hanya aku dan Langit yang tau kalau peri-peri itu membantunya, karena tak semua orang boleh melihat peri-peri ini. Aku pun datang menghampiri salah satu dari mereka.
“Permisi Agi, apakah Langit ada di sini?” Tanyaku.
“Langit?? Bukankah dia sudah pergi sejak pagi? Dia membuat makanan yang banyak, sepertinya cukup untuk perjalan berhari-hari,  dalam keranjangnya lalu pergi dengan wajah gembira. Entah akan kemana, tapi sepertinya akan memakan waktu yang lama. Oh, apakah itu makan siang kami? Kami sangat lapar.” Kata Agi, pemimpin dari peri-peri itu.
“Ya, silahkan dimakan. Tapi tolong segera beri tau aku bila Langit sudah pulang. Biasanya dia hanya pergi sehari, paling lama juga hanya tiga hari. Aku harap dia tidak akan pergi lebih lama dari itu.” Kataku dengan nada sedih.
“Jangan sedih.. Bila lebih dari itu, kami berjanji akan membantumu mencarinya. Masih banyak peri-peri yang bisa membantu kok .” Katanya sambil tersenyum dan makan dengan lahap.
“Ya, baiklah. Aku harap kau benar Agi. Aku harus segera balik ke kedai, tinggalkan saja kotak  makan siangnya disana, nanti sore aku ambil.” Kataku.
“Siap!!!” Kata para peri kecil itu.
***
Empat hari pun berlalu. Dugaan terburukku terjadi, rasa khawatirku benar-benar sudah sampai puncaknya, karena Langit belum juga pulang. Bukan hanya aku, seluruh warga desa merasa ada yang hilang. Langit jarang sekali melakukan perjalanan lebih dari tiga hari tanpa memberi kabar apapun pada warga desa. Memang hasil kebun tetap berlimpah, tapi bila Langit tak ada, desa menjadi lebih sepi. Pak kepala desa pun datang menghampiriku.
‘’Nak Anna , apakah Langit benar-benar tidak memberi kabar padamu? Tempat tujuan pun tidak?” Katanya. Aku tersenyum kecil.
“Dia bilang itu kejutan. Aku harap dia akan segera kembali dengan wajah cerianya dan suaranya yang khas seperti biasa. Mohon anda jangan terlalu khawatir.” Kataku dengan sedih tapi terpaksa untuk tegar.
“Hmm.. Saya harap itu benar. Tapi nak Anna harus segera memberi tau kami bila benar-benar ada masalah ataupun bila ada sedikit saja kabar tentang Langit. Jangan tampung rasa khawatir itu sendirian, karena semua warga desa ini adalah keluarga. Bagaimana?” Katanya. Kata-kata pak kepala desa benar-benar mebuatku terharu. Aku ingin menangis tapi malu, jadi aku hanya tersenyum kecil lagi. Pak kepala desa pun pergi dari kedai.
***
Seminggu telah berlalu, masih belum ada kabar tentang Langit. Para peri selalu mencarinya hingga larut malam tapi masih belum ada kabar. Para warga desa pun mulai khawatir karena Langit yang ceria jarang terlihat. Setidaknya seminggu sekali dia akan berkeliaran di desa, mengganggu pekerjaan semua orang bahkan pendeta pun juga. Tapi hal inilah yang menjadi ciri khas Langit yang membuat semua orang menyayanginya. Puluhan pertanyaan tentang keberadaan Langit dari warga desa tak bisa kujawab. Pertanyaan mereka semua sama : “Langit dimana?”. Pertanyaan yang sama sekali tak kujawab karena aku pun tak tau. Mataku yang sembap karena menangis tiap malam membuat mereka diam dan pergi setelah mereka bertanya. Tampaknya mereka tidak tega untuk bertanya lebih dari itu.
Esoknya aku pergi ke rumah pak kepala desa dengan maksud untuk menceritakan apa yang kuketahui tentang menghilangnya Langit.
“Ini bahaya! Kita semua harus segera mencarinya!” Kata pak kepala desa setelah mendengar ceritaku. Aku tak mengerti kenapa dia bilang itu bahaya, kalau cuma terkejut sih wajar, tapi mengatakan bahwa ini berbahaya? Pak kepala desa yang panik segera memberi taukan semua warga desa. Semuanya panik, para bapak segera memulai mencari Langit ke hutan, danau, bahkan menginformasikannya ke desa tetangga. Aku hanya bisa diam, memang satu minggu adalah waktu yang lama , tapi apakah harus sepanik ini? Karena penasaran, akhirnya aku bertanya pada bu Ina.
“Maaf, bu. Kenapa semua warga sepanik ini? Satu minggu memang waktu yang lama, tapi..” Kataku dengan heran.
“Ooooh... Nak Anna.. Kau memang baru 2 tahun disini jadi pasti belum tau.” Katanya dengan nada melankolis yang berlebihan. Film-film dramatis dan melankolis memang kesukaannya.
“Belum tau apa bu?” Tanyaku. Kata-katanya tadi membuatku semakin penasaran.
“Sebenarnya.. Hmm.. Cerita ga ya? Ahh.. Tapi jangan kaget ya.. Karena cerita inilah yang memicu kepanikan kami semua. Ya? Ya? ” Katanya dengan basa-basi dan berhasil membuatku semakin penasaran. Aku pun mengangguk tanda setuju. Dia pun mulai bercerita.
“Dulu, sekitar 10 tahun yang lalu, suami bu Juju, yang penjual dan peternak ayam itu, pergi dari desa. Niatnya baik, dia ingin mencari tanaman obat yang dapat menyembuhkan sakit kaki bu Juju. Kau tau kan kalau sekarang dia lumpuh? Dulu penyakitnya masih belum parah dan suaminya sangat berharap menemukan obatnya. Dia pergi tanpa pamitan, hanya melalui surat, dan seminggu kemudian dikabarkan bahwa ia telah tewas dimakan hewan buas di hutan. Mayatnya ditemukan dalam keadaan mengenaskan dan menyedihkan, membuat semua warga takut untuk pergi keluar terutama hutan itu. Hal ini tentu tak diketahui oleh Langit karena dia datang 5 tahun lalu. Dan karena itu pula dia berani untuk melakukan hal yang sama 4 tahun lalu. ” Katanya.
“Tunggu, 4 tahun lalu? Berarti ini bukan yang pertama kalinya? Saat itu kan dia tidak meninggal, lalu kenapa semua khawatir?” Tanyaku. Sungguh cerita yang membingungkan.
“Nak Anna.. Aku kan belum selesai cerita. 4 tahun yang lalu itu Langit menghilang selama 4 hari di hutan dan tentu masih hidup saat pulang dari hutan itu. Tapi tidak bisa dibilang selamat juga, karena seluruh badannya penuh luka dan memar. Dia hampir pingsan saat itu walaupun sudah membawa perbekalan. Cuma 4 hari nak, 4 hari! Bagaimana dengan seminggu?? Aduuuh..” Katanya dengan sangat histeris dan melankolis lagi. Aku tercengang, 4 hari? Hanya 4 hari dia sudah hampir pingsan?
“Tapi bu Anna, aku kan sama sekali tidak sakit jadi tak membutuhkan tanaman obat apapun. Jadi buat apa Langit ke hutan? Mungkin saja dia pergi ke desa tetangga. Iya kan?” Kataku dengan sedikit memaksa karena ku sembunyikan wajah cemasku.
“Ckckck... Nak nak.. Tampaknya kau sedang berusaha menghibur dirimu. 4 tahun yang lalu Langit pergi ke hutan tanpa alasan yang jelas, tak ada yang tau alasannya. sampai akhirnya dia memperlihatkan salah satu barang legendaris yang tersembunyi di dalam hutan. Barang itulah yang membuat cuaca di desa ini stabil sesuai musimnya. Langit mencari benda itu karena saat itu semua tumbuhan dilanda kekeringan dan para binatang terserang penyakit. Dia pun mengetahui letak dan fungsi barang itu dari buku di perpustakaan. Semua warga kagum dan menganggapnya pahlawan. Yaa.. Intinya dia bisa pergi kemanapun dengan alasan apapun tentunya. Logika tak terlalu berguna untuk memikirkannya. ” Kata bu Ina. Wajah percaya diriku mulai menghilang dan muncul wajah cemas yang sejak tadi kutahan. Mataku tampak akan menangis lagi, tapi tak bisa karena mataku telah lelah menangis. Aku kembali ke kedai dengan perlahan.
“Hei..! Kan sudah kubilang jangan kaget.. Aduuuh..” Kata bu Ina.
Aku hanya diam. Tetap berjalan menuju kedai dengan perlahan. Sungguh menyedihkan.
***
Waktu terus berjalan, sudah 3 minggu lamanya Langit menghilang. Setiap hari para warga datang ke kedaiku, lebih banyak dari biasanya tentunya, untuk menghiburku sebisa mereka sekaligus menyembunyikan kenyataan kalau sampai sekarang mereka belum menemukan Langit.
BRUAK!!
Suara pintu yang keras itu mengejutkan semua orang. Setelah itu pak Tino datang dengan terengah-engah.
“Semuanya.. Ini.. ada.. kabar.. dari.. tetangga.. se..belah..” Katanya dengan tersendat. Tampaknya dia berlari dengan sekuat tenaga dan sekencang mungkin.
“Beristirahatlah dulu. Tenanglah.  Ceritakan pada kami dengan perlahan agar kami mengerti. Anna, tolong ambilkan minum.” Kata pak kepala desa dengan tenang. Aku sangat berharap bahwa itu adalah berita tentang Langit, tapi aku masih tak yakin. Segera ku berikan segelas air dingin pada pak Toni lalu duduk di dekatnya. Berharap dapat mendengar jelas tentang kabar itu.
“Aaah.. Segarnya. Terima kasih ya Anna. Sebagai hadiah, aku beri taukan berita baik padamu. Aku yakin kau akan senang, tidak hanya kau, ku jamin semua orang senang.” Katanya dengan wajah gembira.
“Tentang.. Langit?” Tanyaku dengan penuh harap.
“Ya! Hahaha.. Kau tau? Desa tetangga kita mengatakan bahwa mereka sebenarnya merawat Langit seminggu yang lalu. Dia memang ditemukan di dekat desa tetangga dalam keadaan pingsan karena kelaparan dan bedannya penuh luka seperti 4 tahun lalu. Mereka menyembunyikannya karena itu adalah permintaan Langit. Karena itulah saat kita kirimkan berita kesana mereka hanya diam dan menjawab tak tau. Sampai akhirnya seseorang tidak tega menyembunyikannya dan segera mengirimkan surat kepadaku. Ini dia suratnya, silahkan dibaca. ” Katanya sambil menyodorkan sebuah surat. Aku pun membacanya lalu diam dan tersenyum kecil. Aku sungguh bersyukur karena setidaknya dia belum meninggal, tapi sedikit kesal karena baru diberi tau. Lebih tepatnya, kesal pada Langit karena dia merahasiakan semua ini. Apakah dia tak tau apa yang telah ia lakukan? Tau kah secemas apa seluruh warga? Terutama aku, tunangannya, kenapa dia tak mau memberikan sedikit saja petunjuk? Menyebalkan.
“Bolehkah aku menyimpan surat ini?” Tanyaku.
“Tentu. Kenapa tidak?” Kata pak Toni. Dia sangat bahagia karena kecemasan kami semua sedikit berkurang. Aku pun mengucapkan terima kasih dan segera menuju kamar. Di kamar, aku kembali membaca surat itu. Mungkin saja ada petunjuk tentang alasan perginya Langit atau mungkin tempat dia berada sekarang. Kutelusuri surat itu, kubaca berkali-kali hingga aku hafal tapi tetap tak menemukan petunjuk apapun. Akhirnya ku putuskan untuk pergi ke desa itu. Ku kemas sedikit barang-barangku dengan harapan perjalanan ini tidak akan memakan waktu yang lama. Saat aku keluar kamar dengan membawa tas, semua warga terkejut melihatku. Sepertinya mereka berpikir bahwa aku akan keluar desa seperti Langit. Aku pun tersenyum.
“Aku adalah tunangan Langit!! Aku harus mencari Langit dengan kaki tanganku sendiri! Jadi, aku akan pergi sekarang. Kuharap ini tidak membutuhkan waktu yang lama, terima kasih..” Kataku dengan nada yang semakin rendah. Senyum lebar pun kuperlihatkan untuk meyakinkan mereka tapi sayangnya mereka tetap diam, sepertinya mereka tak setuju. Pak kepala desa menghampiriku.
“Di luar sana terlalu berbahaya untukmu. Kami semua tau apa yang sangat kau takuti dan sayangnya hal menyeramkan itu bisa datang kapan saja diluar sana. Tak ada yang menemanimu atau bahkan menolongmu. Kami mohon, jangan pergi.” Katanya dengan suara yang bijaksana. Aku sedih, kenapa mereka tak mau mendukungku? Bukankah mereka juga khawatir pada Langit? Akhirnya aku berlari kembali ke kamarku, menguncinya dan mengurung diri.
Malamnya, aku berhasil keluar dari kedai tanpa diketahui Tika. Segera kuambil seekor kuda, lalu pergi secara perlahan-lahan dan sembunyi-sembunyi.
“Maafkan aku semuanya, maaf.” Bisikku.
Perjalanan menuju desa tetangga tidak terlalu lama bila ditempuh dengan kuda. Sebenarnya ini adalah kuda milik Langit, ia lebih memilih pergi ke desa tetangga melewati hutan secara diam-diam dibanding menaiki kuda, sehingga kuda manis dan gagah ini tak ia pakai. Di sepanjang jalan ini ada beberapa rumah penduduk dan bila Langit lewat sini pasti mudah untuk menemukannya sehingga ia melewati hutan yang berbahaya itu. Dasar gila.
Sesampainya di desa tetangga, para warga desa menyambutku dengan baik. Saat ku beri tau maksud kedatanganku mereka langsung terdiam dan menggelengkan kepala tanda tak tau tentang keberadaan Langit. Apa sih yang membuat mereka mau melakukan perintah orang aneh itu? Aku pun menjelaskan tentang siapa aku, kenapa aku mencarinya, dan apa saja yang telah ku alami selama Langit menghilang. Beberapa dari mereka tetap diam membisu, ada juga yang sedikit menangis karena terharu, tapi tak ada yang mau mengatakan apapun tentang Langit. Aku kesal, tak bisakah mereka mengerti perasaan ku? Hingga tiba-tiba seorang anak muncul dan mendekatiku.
“Kota. Kudengar kakak itu pergi ke kota yang diujung sana.” Kata anak itu dengan polosnya sambil menunjuk ke arah selatan. Tampak raut wajah para warga desa terkejut dan sedikit kesal. Anak itu pu segera pergi dan bermain dengan teman-temannya lagi. Awalnya aku ingin bertanya apakah kata-kata anak itu benar, tapi dari raut wajahnya dapat ditebak bahwa itu benar. Dengan segera aku menaiki kuda dan pergi menuju kota dan tentunya tak lupa untuk mengucapkan terima kasih pada mereka. Baru beberapa meter aku pergi aku sudah mendengar bisikan-bisikan tentang Langit dan aku, sedikit menyebalkan tapi aku tak mau peduli. Masih banyak hal lain yang harus ku pedulikan.
Jalan setapak yang kini aku telusuri memang sangat sepi, wajar saja Langit melewatinya. Aku benar-benar tak mengerti apa maunya. Sepanjang jalan aku berpikir tentang alasan kepergiannya yang sangat tak jelas dan misterius. Lalu tiba-tiba aku sadar satu hal, kota yang akan kukunjungi adalah kampung halamanku. Aku lahir, besar, bersekolah dan dulu tinggal disana selama 17 tahun. Kenapa aku bisa lupa hal sepenting ini? Kalau begitu, alasan dia pergi pasti ada hubungannya denganku. Aku pun segera mempercepat jalan si kuda. Butuh waktu 3 hari bila kudanya hanya berjalan biasa karena, seperti yang kusebutkan diawal, desa kami sangatlah terpencil dan jauh dari kota. Dengan taunya tujuan Langit sebenarnya adalah kota tempat tinggalku dulu, membuatku melihat sedikit titik cerah bahwa dia pergi keluar desa demi aku.
***
Sesampainya di kota, aku sedikit diam dan tercengang. Rasa rindu, kangen, terkejut, serta bingung kurasakan bersamaan. Padahal hanya 2 tahun, tapi aku menjadi lumayan asing dengan keadaannya. Udara disini pun penuh polusi, tidak seperti di desa tentunya. Tapi yang menjadi masalah bukanlah itu, melainkan aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Kota itu cukup besar, padat dan menyesakkan. Bagaimana caranya aku bisa menemukan Langit? Lagipula, apa yang Langit perlukan dari sini? Berpikir sekeras apapun tampaknya tak berguna karena sama sekali tak ada ide yang keluar. Sampai akhirnya terlewat sekilas sebuah ide.
 ‘Bagaimana kalau aku mencari ke seluruh tempat yang ada hubungannya denganku. Kalau sampai ke kota, mungkin saja Langit pergi demi aku.’ Pikirku.
Sungguh aneh, tau alasan dia pergi saja tidak, bagaimana aku bisa berpikir seperti ini? Tapi daripada hanya diam disini lebih baik bergerak. Akhirnya aku mulai menelusuri tempat-tempat yang berhubungan denganku dulu, seperti rumahku, sekolahku, dan lain-lain. Sebenarnya aku tak terlalu suka melakukan ini karena banyak kenangan yang ku ingat kembali, kenangan baik maupun buruk. Saat aku melewati sekolah-sekolahku dulu, seperti SD, SMP, dan SMA. Tapi tak ada satupun yang berani ku masuki, aku hanya diam di depan gerbang. Setelah itu aku pergi ke taman dekat SMA-ku dulu, lalu diam sejenak. Melihat gedungnya saja sudah mebuatku ingat banyak hal. Yang paling indah adalah kenangan saat pertama kali masuk SMA, sungguh menyenangkan. Pergi membeli makanan kecil dengan teman-teman, jalan-jalan di pasar malam bersama, makan siang bersama, mengerjakan PR bersama, membicarakan laki-laki yang kami sukai bersama, dan masih banyak lagi. Tapi sejak kematian keluargaku aku mulai menyendiri di sekolah. Teman-temanku telah berusaha menghiburku tapi aku tetap tak tersenyum dan pergi menjauh, membuat mereka sedih dan tak berani menggangguku lagi. Hal ini terus berlanjut sampai aku lulus SMA, sungguh menyebalkan. Mengingatnya lagi, mebuatku menangis di taman itu. Sungguh, aku sangat menyesal atas sikap anehku selama itu. Tapi aku tak bisa lama-lama menangis, karena Langit tetap belum ditemukan.
Aku pun mencoba pergi ke rumah lamaku. Rumah itu sudah kotor dan berdebu karena tak ada yang merawatnya. Padahal rumah itu sangat mewah, megah, indah dan besar. Tapi karena rumahnya tak terurus, kesannya menjadi menyeramkan. Aku tak berani melihatnya lama-lama, dulu aku sudah melakukan banyak percobaan bunuh diri karena kesepian, putus asa dan kesedihan yang sudah meluap-luap. Semua percobaan itu gagal karena aku masih takut untuk melakukannya. Akhirnya aku segera pergi ke taman dan terdiam lagi. Memang kota ini menyimpan ribuan kenangan bahagiaku dari lahir hingga umurku 15 tahun dan setelah itu seluruh kebahagiaanku berubah menjadi kesedihan yang sangat menyakitkan. Karena itu aku enggan untuk pergi ke kota. Kenangan buruk lebih cepat diingat daripada ingatan baik. Aku takut mencari Langit lebih lama lagi karena kenangan buruk akan teringat lebih lama pula. Ingin sekali segera pulang, tapi di hati kecilku aku tak ingin pulang. Kota ini besar dan ramai, bisakah Langit, yang selama ini tinggal di desa, tidak tersesat di kota? Tampaknya rasa khawatirku lebih besar sehingga aku berani beranjak dari taman dan pergi ke tempat lainnya.
“Hei!! Kau Anggi kan?! Apa kabar?” Tanya seseorang dibelakangku. Aku terkejut, siapa yang mengenalku? Bukankah teman-teman sekolahku sudah menjauhiku? Dengan segera aku melihat ke belakang dan ternyata itu adalah teman-teman sekolahku dulu. Kenapa mereka menyapaku?
“Heeiiii.. Kau benar-benar Anggi kan?” Tanya salah seorang dari temanku itu.
“I-iya.. Ada apa?” Jawabku dengan gugup, aku sudah lama sekali tak berbicara dengan mereka.
“Jangan gugup begitu, santai saja. Kami tak akan memakanmu kok. Hehehehe.. Oh ya, kau akan menikah ya? Selamat ya!! Ternyata di desa itu lebih cepat dapat jodoh..” Kata temanku yang lainnya. Aku kaget, menikah? Tau darimana aku akan menikah? Kabar kalau aku pergi ke desa memang di ketahui banyak orang, tapi kalau menikah?
“Tau darimana? Rasanya aku sama sekali belum pernah mengabarkannya kemari.” Kataku.
“Loh? Kau tak tau? Suamimu itu yang menyebarkannya pada kami semua. Dia pergi ke rumah-rumah murid sekolah angkatan kita dulu lalu pergi ke rumah saudara-saudaramu, hanya untuk mengatakan bahwa dia akan menikah denganmu. Wajahnya sangat bahagia dan berseri-berseri, sepertinya dia sangat mencintaimu. Enaknya.... ” Kata temanku yang lainnya.
“Apa? Jadi dia pergi ke kota hanya untuk memberi kabar tentang pernikahan?!” Tanyaku dengan terkejut. Sederhana sekali tujuannya itu.
“Tidak hanya dikabari, kami juga diundang. Tenang saja, pasti kami datang kok. Tunggu saja yaaa.. Dadaah..” Katanya. Mereka pun segera pergi sambil melambaikan tangannya. Aku tersenyum, ingin menangis dan tertawa sekaligus marah. Langit memang benar-benar orang yang tak bisa diduga-duga. Aku pun segera kembali ke desa, ku harap Langit bisa kembali dengan selamat karena seharusnya dia tak melewati hutan lagi, tujuannya sudah tercapai kan?
Aku pun pulang dengan perasaan sedikit lega dan bahagia sehingga kenangan buruk tadi sudah kulupakan lagi. Yang kupikirkan hanyalah bagaimana caraku menyambut kepulangan Langit dengan bahagia tanpa wajah cemas. Setelah perjalanan yang cukup lama, aku merasakan hal yang buruk. Awan-awan yang tebal dan gelap mulai datang dan mengubah suasana hatiku. Aku takut, aku tak bisa bergerak, kuda yang kunaiki ingin sekali berlari tapi aku sama sekali tak bisa memacunya, aku takut. Hujan pun mulai turun perlahan-lahan dan aku langsung menangis.
‘Bagaimana ini? Aku takut, tak ada yang bisa menyelamatkanku di jalan yang sepi ini. Bagaimana ini?’ Pikirku. Aku terus menerus menangis dan tiba-tiba petir menyambar pertanda hujan ini telah menjadi badai. Trauma terhadap hujan, terutama badai, membuatku tak kuat menangis lagi, aku mulai kehilangan kesadaran. Dalam keadaan itu, terdengar suara siulan seseorang dari jauh, lalu kuda itu berlari menuju orang yang bersiul itu. Sayangnya aku tak sempat melihat wajahnya, aku pingsan.
***
Mataku terbuka, aku langsung melihat keluar. Melihat hari yang sangat cerah dan damai seperti biasanya. Terdengar suara orang-orang di bawah sana dan aku mulai sadar, aku berada di kamarku. Tiba-tiba terdengar bunyi langkah kaki mendekat. Orang itu pun membuka pintuku.
“Kyaaaa!!!! Pa dokter! Pa dokter! Lihat! Anggi sudah sadar!!” Teriaknya. Itu Tika, tampaknya dia sangat terkejut melihatku. Setelah teriakannya tadi, terdengar langkah kaki yang lebih banyak dan cepat.
“Anggi! Bagaimana rasanya? Apakah kau pusing atau mungkin ada bagian yang sakit?” Tanya dokter itu dengan tergesa-gesa, dia adalah satu-satunya dokter di desa ini dan orang yang sangat menyukaiku selain Langit, wajar saja kalau dia sangat khawatir. Dia datang bersama beberapa warga desa yang khawatir denganku juga.
“Baik. Tapi aku tak ingat apa yang telah terjadi. Dan... Kenapa aku disini?” Tanyaku. Karena ini benar-benar aneh.
“Err.. Sebenarnya.. Maafkan kami Anggi.. Sebenarnya..” Kata Tika. Aku jadi semakin tidak mengerti. Lalu tiba-tiba terdengar suara langkah kaki lainnya yang lebih cepat dan keras. Orang itu pun masuk ke kamarku dan memotong perkataan Tika.
“ANGGI!!! APA YANG KAU LAKUKAN HAH?!” Teriaknya. Aku terkejut dan tercengang karena aku sangat mengenali suara itu.
“LANGIT!!” Teriakku. Aku, yang sangat terkejut sekaligus bahagia, langsung beranjak dari kasurku dan berlari menuju Langit. Aku memeluknya dengan erat sambil menangis.
“Kemana saja kau pergi bodoh. Kenapa kau tak bilang dulu padaku? Kau tau kalau aku sangat khawatir? Benar-benar menyebalkan..” Kataku sambil menangis dan memeluknya. Terlihat wajah Langit yang tak tega memarahiku dan memelukku juga.
“Aku memang tak bilang dulu padamu dan aku tau kau khawatir, tapi aku sama sekali tidak bodoh. Justru kau yang bodoh karena keluar desa tanpa sepengetahuan warga desa, kau kan sangat takut dengan hujan, mana bisa pergi jauh dengan trauma macam itu.” Katanya. Cerewet dan percaya dirinya itu sama skali tidak berubah.
“Apa yang kau maksud dengan kau tak bodoh? Kalau cuma ingin ke kota, tak usah melewati hutan kan? Lagipula apa yang kau lakukan di kota? Memberi tau orang-orang tentang pernikahan kita kan bisa melewati surat?” Tanyaku.
“Hmm.. Ckckckck... Anggi belum tau apa-apa. Tak usah menceramahi yang lebih tua. Jika kau benar-benar penasaran, datanglah ke rumahku malam ini. Aku yakin kalau lukamu sama sekali tak parah jadi masih bisa berjalan menuju rumahku. Dadaah..” Katanya. Dia pun pergi sambil tertawa kecil dan membuatku sangat penasaran.
***
Malamnya, aku bersiap-siap pergi ke rumah Langit. Aku harap dia benar-benar menceritakan segalanya padaku. Sesampainya di rumah, aku di sambut dengan makanan yang lezat, alunan musik yang indah, dan bahkan rumah yang rapi – menurut Langit. Langit pun mempersilahkan aku duduk dan memakan makanan itu.
“Silahkan dimakan! Ini buatanku sendiri!” Katanya dengan semangat. Aku senang bisa memakan masakannya lagi tapi rasa penasaranku jauh lebih tinggi dibanding nafsu makanku.
“Emm.. Langit, boleh aku tau alasanmu pergi?” Tanyaku dengan sedikit gugup. Langit pun tersenyum dan mengeluarkan sebuah kotak. Kotak itu tidak terlalu indah, kecil dan tidak menarik. Tapi karena Langit yang memegangya, aku yakin penampilan luar dan dalamnya berbeda. Dengan wajah bahagia Langit memperlihatkan isi kotak padaku. Aku terkejut.
“Ini adalah permata legendaris yang sangat indah dan bermanfaat bagimu. Aku ingin menggunakannya untuk membuat cincinmu, hehehe..  Kau tau kan benda legendaris itu sangat susah di dapat, jadi harus berusaha setengah mati di hutan dulu.” Katanya. Akhirnya aku mengerti alasan warga desa tetangga menyembunyikannya dariku, itu kan kejutan.
“Dan tentang pergi ke kota?” Tanyaku lagi.
“Ooh, itu sih karena aku ingin teman-teman dan keluargamu mengenaliku. Kau kan sudah lama tak berbicara dengan mereka dan mereka sama sekali tidak mengenaliku. Kalau hanya dengan surat kemungkinan besar mereka tak akan mau pergi ke acara perkawinan kita. Aku kan ingin saat-saat itu meriah, sekali seumur hidup looh.” Katanya.
“Hmm.... Lalu, apakah kau yang menolongku saat pingsan di jalan? ” Tanyaku lagi.
“Ya.. Pak kepala desa tetangga mengirim surat padaku bahwa kau mengikutiku. Saat hujan turun aku segera mencarimu karena aku yakin kau sudah menangis seperti orang gila. Hehehe... Tak kusangka bila kau langsung pingsan. Jadi aku buru-buru kesini.” Jelasnya. Lengkap sekali..
“Baiklah, alasanmu diterima. Dan satu hal lagi, aku tau kalau aku sangat bodoh karena berusaha mengejarmu walaupun trauma dengan hujan. Tapi yang khawatir padamu bukan hanya aku, seluruh warga desa juga sangat khawatir. Wajar saja kan kalau aku jadi nekat?” Kataku.
“Warga desa? Kau serius? Mereka pasti bercanda. Aku sudah memberi tahukan pada kepala desa tentang kepergianku ini, peri-peri pun juga, hanya kau saja yang tidak. Kalau kau tau bukan kejutan nantinya. Aku juga sudah meminta warga desa untuk tetap menjagamu di desa sampai aku pulang, walaupun akhirnya mereka gagal. ” Katanya. Aku diam lagi, setelah beberapa menit aku mulai sadar dan berteriak.
“APAA?! JADI MEREKA SEMUA SUDAH TAU BAHWA KAU PERGI KE DESA?!! Kalau begitu kenapa mereka bertingkah seangat khawatir? Aaaah... Itu candaan yang paling menyebalkan dan aneh yang pernah ku alami! Jahat deh!!” Teriakku dengan kesal. Sekarang aku mengerti kenapa tadi Tika minta maaf. Mukaku menjadi merah karena malu.
“Hahahahahahaha!!! Kau benar-benar lucu!! Bodoh sekali!!” Kata Langit sambil tertawa puas. Rasa kesal, malu, marah bahkan senang kurasakan bersamaan. Aneh sekali, desa ini sungguh aneh. Akhirnya kami berdua makan malam bersama dan tertawa bersama lagi. Sangat menyenangkan.
***
Dua bulan telah berlalu sejak kejadian Langit menghilang. Kalau dihitung, hampir sebulan orang itu pergi dari desa. Tapi sekarang itu tak kupikirkan lagi, sekarang kami akan menikah di gereja desa dan sesuai dugaan, tamu yang datang sangat banyak dan acara berlangsung meriah. Teman-teman lamaku dan keluargaku juga datang menyambut pernikahan kami dengan sangat gembira.
Bel gereja berbunyi, kami, aku dan Langit, segera masuk ke gereja dengan saling bergandengan tangan. Saat itulah aku berkali-kali berbisik pelan.
‘Terima kasih banyak Langit, suamiku. Terima kasih.’ Bisikku.

1 comments:

Sri Maryani said...

Waaahhh.. blogmu cantik dengan cepat.. hehehe. Sehari langsung bagus...^____^

Post a Comment