Pages

Saturday, May 14, 2011

The next Cerpen part 3..

Mengejutkan. Kulihat banyak tumpukan kotak-kotak yang berisi senjata-senjata api. Aku tak berani mendekat lebih dari ini tentunya. Selain itu, aku melihat berbagai macam dan warna bungkusan narkotika. Mungkin bila ditimbang, berat total narkotika itu mencapai 750 kg. Akhirnya aku sadar bahwa ini adalah kasus penyelundupan. Panik, hanya itu yang kurasakan. Aku gegas berlari menghindari tempat itu.
BRAK!
Aku menabrak seorang lelaki besar di depanku. Usianya sekitar 35 tahun. Seorang perempuan muda dan cantik terlihat menggandengnya. Lelaki itu bermata sayu.
“Ma, maaf.. Maaf,, Saya tidak sengaja.. Mohon maaf.” kataku dengan gugup. Keringat mulai sedikit mengucur di tubuhku, bukan karena sebelumnya aku berlari, tapi karena takut. Aku takut ketahuan telah melihat hal buruk tadi dan –sangat mungkin- aku akan dibunuh.
“Hei, Nak. Tenanglah. Itu tidak sakit. Justru kami khawatir padamu. Kamu terluka? Kamu terlihat sangat cemas, kenapa Nak?” kata pejalan kaki itu. Lelaki itu bertutur halus. Ia nampak orang yang berwibawa dan bertanggung jawab. Entah kenapa, aku sangat memercayainya untuk kubagi rahasia besar ini. Setidaknya, mungkin dia dapat membantuku menelpon polisi untuk menangkap mereka.
“Ah. Eh. Euh. Saya.. Saya.. Saya ingin memberi tahu Anda sesuatu! Tolong aku!” Kataku dengan panik.
“Silahkan, sayang. Kami akan membantu semampu kami.” kata pacar bapak itu. Suaranya yang tenang membuatku menjadi lebih tenang.
“Tadi. Tadi Saya melihat ada banyak orang yang menyelundupkan senjata-senjata api dan narkotika. Saya yakin itu ilegal! Kita harus segera melaporkannya!” teriakku. Suaraku terdengar nyaring di lajur jalan yang sepi ini. Aku membuang nafas lega, setidaknya aku tak lagi menanggung beban itu sendiri.
Selesai menyimak aduanku, raut wajah kedua orang itu mulai berubah, tampak serius. Hatiku semakin tak pasti. Kuharap mereka percaya padaku. Tapi ternyata aku salah, kepalan tangan perempuan muda tiba-tiba mendarat di perutku dengan keras, aku pun terbaring dan muntah, rasa sakit yang luar biasa menjalar di seluruh tubuhku, tapi aku masih sadar. Aku seperti tak memercayai semua ini. Mereka berdua memandangku dengan sorot tajam. Kenapa mereka berubah? Dan ternyata itu belum selesai, sebuah tangan lainnya memukul leher belakangku. Tiba-tiba pandanganku menjadi gelap.

***
Gelap, pengap, dan bau keringat yang menyengat dicampur dengan bau besi, semua itu kurasakan saat bangun dari pingsan. Aku tau ini bukan kamarku, bahkan aku sama sekali tak tau tempat ini. Terlalu gelap, aku tak bisa melihat apapun. Rasa sakit karena pukulan tadi juga hilang, tapi masih ada bekasnya.
“Sial! Hari ini aku benar-benar sial!” Teriakku. Tampaknya sangat keras, karena suaraku telah memunculkan suara baru. Suara orang-orang yang terganggu dengan suara itu.
“Sssst!!! Diamlah! Mereka bisa mendengarmu!!” Katanya. Aku tak dapat melihatnya, terlalu gelap, semoga saja orang itu tak akan memukulku. Tapi aku masih takut, rasa percayaku sukar untuk muncul lagi. 
“Siapa kau dan yang lainnya? Dimana ini? Kenapa aku disini? Jelaskan semua hal yang kau tau..” Kataku. Aku gugup.

“Kita semua hampir sama sepertimu, termasuk aku, orang yang tak sengaja melihat kejahatan mereka. Kita semua ditangkap dan disekap di sini tanpa diberi makan dan minum, tak terurus.
“Kenapa kalian tak berusaha kabur?”
“Itu terlalu beresiko!”
"Kenapa? Kenapa ga boleh kabur?! Wajar kan kalau kita disekap gini terus ingin kabur? Kenapa sih?" Tanyaku dengan kesal. Aku bingung, heran, dan capek. Percakapan dengan orang ini memang memperjelas keadaanku, tapi juga membuatku kesal.
"Maaf nak, aku tak bisa bilang. Terlalu mengerikan, aku tak mau kau yang masih muda ini mengetahui hal yang kejam dan sadis. Tapi kumohon, percayalah. Kita hanya bisa kabur disaat-saat tertentu, bukan sembarangan. Bersabarlah." kata orang itu. Aku semakin kesal tapi berusaha untuk tenang. Kesal dalam keadaan ini hanya membuang-buang tenaga.
“Sampai kapan? Lagipula bagaimana kau tau kalau aku ada di sini karena ketahuan menyadap.. Mungkin saja  ada alasan yang lain.” Kataku dengan sinis.

0 comments:

Post a Comment