“Tak ada yang tau sampai kapan. Saat kau masuk tadi, mereka bilang kau sama seperti kami, karena itulah kami tau..” Katanya dengan lembut. Orang yang baik, dia tetap tenang dan tak membentakku.
“Baiklah.. Tapi.. Mungkinkah kita selamat? Aku mau pulang.. Aku takut..” Air mataku mulai mengalir. Aku tak mau berakhir di sini. Aku tak mau mati.
“Maaf nak. Engkau memang masih muda, umurmu masih panjang. Kami semua sudah 7 hari di sini. Sebenarnya kami tak boleh diberi makan ataupun minum. Namun, beberapa orang di antara mereka yang masih memiliki rasa iba. Sesekali mereka memberi kami makan dan minum. Sekarang kita bertujuh saling membantu untuk bertahan hidup di ruang pengap ini. Tenanglah.” katanya dengan lembut. Sangat lembut, tapi aku tetap panik. Air mataku mengalir semakin deras.
“Sampai kapan kita begini?! Sampai mati?!! Ga mau!!! Aku masih harus hidup! Aku berbakat, aku hebat, hidupku masih panjang!!!” Teriakanku seperti orang yang kesurupan.
“Sssst!!!! Tenanglah! Bila mereka mendengarmu, kau bisa dibunuh!!!!” Bisiknya. Sayangnya perkataan itu tidak membuatku semakin tenang, hanya dengan mendengar kata ‘bunuh’, akal sehatku hilang begitu saja. Aku langsung berdiri dan segera berlari.
“Hei nak! Tunggu! Kalau kau lari kau bisa..” Suaranya semakintak terdengar karena terlalu pelan. Kuabaikan perkataannya dan berlari menuju secercah cahaya. Aku yakin itu adalah pintu yang tidak tertutup rapat dan aku benar. Pintu itu ternyata tidak dikunci dan membuatku semakin yakin untuk kabur dari tempat ini. Dengan kakiku yang lincah dan cepat, aku pasti berhasil.
Saat ku dorong pintunya, aku melihat hutan yang luas di hadapanku. Ternyata gudang bau dan aneh ini terletak di tengah hutan. Langit juga sudah sangat gelap, cahaya yang kulihat berasal dari obor-obor yang disimpang disekitar gudang ini. Karena obor-obor itu tertancap kuat di tanah, aku tak punya penerangan untuk kabur. Hanya orang gila – kehilangan akal sehat tentunya – yang berani berlari menembus hutan itu tanpa penerangan, dan aku gila. Tanpa pikir panjang aku segera berlari menembus hutan itu. Tak kupirkian kembali kenapa orang-orang yang disekap di gudang tak kabur, padahal pintunya tidak dikunci. Tak kupirkan apa yang dikatakan oleh orang baik tadi. Karena aku hanya berpikir untuk kabur.
Aku berlari dengan kencang, tanganku sangat lincah memegang pohon-pohon agar tidak tertabrak.
DOOR!
Aku mendadak berhenti. Suara tembakan tadi mebuatku berpikir sejenak, dan akal sehatku kembali. Akhirnya aku sadar bahwa aku telah melakukan hal yang sangat bodoh. Tak ada yang mau kabur walaupun pintunya tak dikunci, karena mereka tau bahwa mereka bisa mati. Orang baik tadi berusaha memberi tau, tapi aku tak peduli. Tampaknya sudah ada – pasti ada – orang yang panik seperti aku, dan akhirnya mati. Tapi semua sudah terlambat, sekarang aku dikejar dan sangat mungkin untuk mati. Tak mungkin aku kembali ke gudang, itu bodoh, dan aku hanya memiliki satu jalan, kabur.
DOOR!
Bunyi itu terdengar lagi, memang masih agak jauh tapi bukan berarti aku aman. Ku percepat langkahku walaupun aku tau itu adalah hal yang sia-sia.
DOOR!
Bunyi itu terdengar lagi, semakin dekat tentunya. Aku sangat panik, aku sangat menyesal karena berusaha kabur dari gudang itu. Tidak, jika sejak awal aku tak memberi tau orang lain tentang kasus penyelundupan itu, jika aku hanya mendiamkannya, aku tak akan berakhir seperti ini. Aku sungguh bodoh. Kupegang sebuah pohon dan bersandar disana, aku capek, aku menyerah. Kudengar suara beberapa orang yang tampaknya mengejarku. Aku tetap diam. Saat aku berbalik, sebuah pistol mengarah padaku. Aku hanya tersenyum sambil menangis kecil.
DOOR!
Tubuhku ambruk. Kucium bau rumput yang sekarang sejajar dengan kepalaku. Darahku menderas. Rumput-rumput membasah menjadi merah. Tiba-tiba aku teringat ibu dan mimpi buruk tadi pagi. Gelap.
0 comments:
Post a Comment